Eksklusif Slamet Rahardjo: Memaknai Hidup Sebagai Panggung Sandiwara
05 April 2024 |
20:00 WIB
Slamet Rahardjo bukan nama kaleng-kaleng di dunia teater dan sinema Indonesia. Aktor gaek itu selalu berhasil memukau penonton dengan aktingnya yang ciamik. Bahkan dia bisa memainkan beberapa karakter yang berbeda dalam satu tarikan napas.
Lebih dari lima dekade, pria kelahiran 21 Januari 1949 itu berkiprah di dunia panggung dan film. Lahir dari keluarga kombinasi seni dan militer, Slamet berhasil meraih apa yang belum pernah dicapai aktor sebelumnya. Living legend pun pantas disematkan di namanya.
Sore itu, di tengah gemerisik daun sawo duren yang tertiup angin, Hypeabis.id berkesempatan sowan mengunjungi tempatnya di bilangan Tanah Abang, Jakarta, yang tak lain adalah sanggar Teater Populer yang didirikan bersama maestro Teguh Karya. Sebuah oase dari masa lalu yang kini masih terawat dengan baik.
Baca juga: Profil Slamet Rahardjo, Aktor Berdedikasi Lintas Generasi
Namun, sepi tampak menggelayut. Kondisi salah satu sanggar teater tertua di Jakarta itu seolah menggambarkan kondisi teater Indonesia kiwari. Tidak gemerlapan seperti pada masa jayanya dulu. Poster dan bingkai-bingkai foto pementasan bak memandangi kami yang sedang berbincang.
Lantas, apa alasan utama maestro itu tetap bernyali untuk menekuni seni? Bagaimana dia melihat kondisi seni pertunjukan Indonesia saat ini? Apakah ghirah seni panggung di Tanah Air jalan di tempat, hidup segan mati tak mau? Berikut cuplikan wawancaranya.
Bermula dari dekade 70-an hingga sekarang Anda menekuni dunia kesenian. Ada alasan khusus mengapa tetap tegak di film dan teater?
Saya berkesimpulan dan teringat Achmad Albar yang bilang dunia ini panggung sandiwara. Menurut saya, ketika kita berani menjadi pengisi kehidupan maka dia juga akan merasuk ke kita. Nah kehidupan juga memiliki masalah-masalah dramatik, baik komedi, tragedi, hingga melodrama. Ini tidak lebih seperti apa yang terangkum dalam lagu God Bless itu.
Namun dalam hal ini, orang film dan teater, lebih menekuninya sebagai rahasia-rahasia atau misteri-misteri alam yang [harus] dicari. Ada apa di belakang misteri itu. Itu yang saya tau. Jadi ketika saya umur 17 sampai 20, saya terus bertanya. Mengapa ya orang itu memiliki rasa? Karena Tuhan memberikan imajinasi.
Tak hanya itu, hal-hal yang mungkin biasa bagi orang lain, tapi seniman mencoba menangkap makna di baliknya. Chairil Anwar, lewat sajak Aku melihat ada drama. Ada luka dan pisau yang dibawa berlari. Oleh karena itu dalam hidup harus ada perjuangan. Ini kan sangat luar biasa sekali.
Ketika pagi hari aku berjalan ke barat, misalnya. Matahari ada di belakangku dan membuat bayangan. Tapi aku dan matahari tidak pernah bertengkar tentang siapa yang menciptakan bayangan. Ini indah betul. Dan aku tetap berjalan Mengikuti bayanganku yang memanjang ke depan.
Kendati begitu, aku dan bayanganku juga tidak pernah bertengkar. Tentang siapa dari kita yang harus jalan di depan lebih dahulu. Artinya, seniman mampu menangkap makna-makna dibalik ke eksistensi matahari, eksistensi manusia, eksistensi alam yang merekam semua itu. Jadi, para remaja kala itu ditimang sama karya-karya besar.
Dari sinilah aku ingin jadi seniman. Itulah awalnya kenapa saya berada di teater. Sebab saat kita mau jadi aktor tidak boleh hanya mengalami, tidak boleh hanya mengerti. Aktor itu harus menjadi. Akan tetapi berat juga pikir saya saat itu saat ingin menjadi aktor. Sebab, di Indonesia itu ada 360 grup etnik, dan saya tertarik mempelajari semuanya.
Ada satu catatan penting dari paparan Anda yang bisa dijadikan benang merah. Apakah memang kita harus melihat bahwa teater merupakan proses untuk memaknai hidup?
Loh iyalah. Teater itu sebuah tontonan di atas panggung yang running time-nya itu enggak bisa lebih dari dua atau tiga jam. Kalau kelebihan waktunya penonton akan tidur. Maka segala masalahnya harus dipadatkan.
[Jenderal] Sudirman umurnya lebih dari 40 tahun. Saat lakon kisah hidupnya dikisahkan di panggung cuma 2 jam. Jadi, intinya panggung itu adalah nilai-nilai tertinggi kehidupan seseorang. Sari pati, itu yang kita cari.
Indonesia sempat mengalami masa keemasan pertunjukan pada dekade 70-an. Bagaimana Anda sekarang melihat geliat seni pertunjukan Indonesia?
Kalau merujuk pada teater yang saya geluti, saya cukup beruntung. Teater yang saya gauli memang jago karya. Memilih teater yang alirannya realis, meski saat itu banyak yang ngetawain kami. Bahkan, mereka menyebut Teater populer sebagai teater meja makan. Karena adegannya di sekitar meja makan.
Namun, teater realis inilah yang menguntungkan saya. Sebab, gaya akting saya selain di teater juga terpakai di film. Jadi, tinggal menyesuaikan mediumnya saja. Kalau teater itu kan panggung, tapi kalau film sudah pasti frame kamera.
Saya melihat, saat ini banyak pertunjukan yang penontonnya enggak penuh mungkin karena mereka enggak ngerti. Tapi kalau teater yang bagus, walaupun aneh gitu tampaknya, tapi dia bisa melihat ke dalamannya. Oedipus, misalnya, bisa dipentaskan dengan menggunakan kalimat dan ekspresi yang bagus. Jadi tinggal bagaimana mengolahnya.
Strategi apa yang harus dilakukan agar seni pertunjukan teater bisa makin diminati publik?
Tentu saja dengan melakukan eksplorasi gagasan dan pola pertunjukan. Sebab penonton teater hanya punya satu titik pandang, karena nggak boleh pindah. Ini yang harus dipelajari. Kuasai teknik juga, mulai dari vokal hingga tubuh.
Jadi, jangan bikin sandiwara yang suaranya gak kedengeran sampai bagian bangku paling belakang. Para teaterawan juga harus terus belajar. Orang ada beberapa bahannya kok. Ada alatnya untuk mencipta. Ada literaturnya.
Baca juga: Eksklusif Harry de Fretes: Lika-liku Lenong Rumpi dan Upaya Menjaga Eksistensi Budaya Betawi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Lebih dari lima dekade, pria kelahiran 21 Januari 1949 itu berkiprah di dunia panggung dan film. Lahir dari keluarga kombinasi seni dan militer, Slamet berhasil meraih apa yang belum pernah dicapai aktor sebelumnya. Living legend pun pantas disematkan di namanya.
Sore itu, di tengah gemerisik daun sawo duren yang tertiup angin, Hypeabis.id berkesempatan sowan mengunjungi tempatnya di bilangan Tanah Abang, Jakarta, yang tak lain adalah sanggar Teater Populer yang didirikan bersama maestro Teguh Karya. Sebuah oase dari masa lalu yang kini masih terawat dengan baik.
Baca juga: Profil Slamet Rahardjo, Aktor Berdedikasi Lintas Generasi
Aktor Slamet Rahardjo saat ditemui Hypeabis.id di sanggar Teater Populer (sumber gambar JIBI/Eusebio Chrysnamurti)
Lantas, apa alasan utama maestro itu tetap bernyali untuk menekuni seni? Bagaimana dia melihat kondisi seni pertunjukan Indonesia saat ini? Apakah ghirah seni panggung di Tanah Air jalan di tempat, hidup segan mati tak mau? Berikut cuplikan wawancaranya.
Bermula dari dekade 70-an hingga sekarang Anda menekuni dunia kesenian. Ada alasan khusus mengapa tetap tegak di film dan teater?
Saya berkesimpulan dan teringat Achmad Albar yang bilang dunia ini panggung sandiwara. Menurut saya, ketika kita berani menjadi pengisi kehidupan maka dia juga akan merasuk ke kita. Nah kehidupan juga memiliki masalah-masalah dramatik, baik komedi, tragedi, hingga melodrama. Ini tidak lebih seperti apa yang terangkum dalam lagu God Bless itu.
Namun dalam hal ini, orang film dan teater, lebih menekuninya sebagai rahasia-rahasia atau misteri-misteri alam yang [harus] dicari. Ada apa di belakang misteri itu. Itu yang saya tau. Jadi ketika saya umur 17 sampai 20, saya terus bertanya. Mengapa ya orang itu memiliki rasa? Karena Tuhan memberikan imajinasi.
Tak hanya itu, hal-hal yang mungkin biasa bagi orang lain, tapi seniman mencoba menangkap makna di baliknya. Chairil Anwar, lewat sajak Aku melihat ada drama. Ada luka dan pisau yang dibawa berlari. Oleh karena itu dalam hidup harus ada perjuangan. Ini kan sangat luar biasa sekali.
Ketika pagi hari aku berjalan ke barat, misalnya. Matahari ada di belakangku dan membuat bayangan. Tapi aku dan matahari tidak pernah bertengkar tentang siapa yang menciptakan bayangan. Ini indah betul. Dan aku tetap berjalan Mengikuti bayanganku yang memanjang ke depan.
Kendati begitu, aku dan bayanganku juga tidak pernah bertengkar. Tentang siapa dari kita yang harus jalan di depan lebih dahulu. Artinya, seniman mampu menangkap makna-makna dibalik ke eksistensi matahari, eksistensi manusia, eksistensi alam yang merekam semua itu. Jadi, para remaja kala itu ditimang sama karya-karya besar.
Dari sinilah aku ingin jadi seniman. Itulah awalnya kenapa saya berada di teater. Sebab saat kita mau jadi aktor tidak boleh hanya mengalami, tidak boleh hanya mengerti. Aktor itu harus menjadi. Akan tetapi berat juga pikir saya saat itu saat ingin menjadi aktor. Sebab, di Indonesia itu ada 360 grup etnik, dan saya tertarik mempelajari semuanya.
Ada satu catatan penting dari paparan Anda yang bisa dijadikan benang merah. Apakah memang kita harus melihat bahwa teater merupakan proses untuk memaknai hidup?
Loh iyalah. Teater itu sebuah tontonan di atas panggung yang running time-nya itu enggak bisa lebih dari dua atau tiga jam. Kalau kelebihan waktunya penonton akan tidur. Maka segala masalahnya harus dipadatkan.
[Jenderal] Sudirman umurnya lebih dari 40 tahun. Saat lakon kisah hidupnya dikisahkan di panggung cuma 2 jam. Jadi, intinya panggung itu adalah nilai-nilai tertinggi kehidupan seseorang. Sari pati, itu yang kita cari.
Indonesia sempat mengalami masa keemasan pertunjukan pada dekade 70-an. Bagaimana Anda sekarang melihat geliat seni pertunjukan Indonesia?
Kalau merujuk pada teater yang saya geluti, saya cukup beruntung. Teater yang saya gauli memang jago karya. Memilih teater yang alirannya realis, meski saat itu banyak yang ngetawain kami. Bahkan, mereka menyebut Teater populer sebagai teater meja makan. Karena adegannya di sekitar meja makan.
Namun, teater realis inilah yang menguntungkan saya. Sebab, gaya akting saya selain di teater juga terpakai di film. Jadi, tinggal menyesuaikan mediumnya saja. Kalau teater itu kan panggung, tapi kalau film sudah pasti frame kamera.
Aktor Slamet Rahardjo saat ditemui Hypeabis.id di sanggar Teater Populer (sumber gambar JIBI/Eusebio Chrysnamurti)
Strategi apa yang harus dilakukan agar seni pertunjukan teater bisa makin diminati publik?
Tentu saja dengan melakukan eksplorasi gagasan dan pola pertunjukan. Sebab penonton teater hanya punya satu titik pandang, karena nggak boleh pindah. Ini yang harus dipelajari. Kuasai teknik juga, mulai dari vokal hingga tubuh.
Jadi, jangan bikin sandiwara yang suaranya gak kedengeran sampai bagian bangku paling belakang. Para teaterawan juga harus terus belajar. Orang ada beberapa bahannya kok. Ada alatnya untuk mencipta. Ada literaturnya.
Baca juga: Eksklusif Harry de Fretes: Lika-liku Lenong Rumpi dan Upaya Menjaga Eksistensi Budaya Betawi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.